Welcome To Join Us

Selamat datang di blog kami, Pelangi Indonesia.
Blog kami bukan hanya memberikan informasi tentang keindahan panorama alam saja, namun juga dilengkapi serba-serbi informasi layaknya warna pelangi.

Selasa, 02 Juni 2015

Keluyuran Ke Gunung Batu, Jonggol



Puncak Gunung Batu
Nama Gunung Batu, Jonggol, kian akrab bagi mereka yang dahaga mencari alternatif wisata alam mengisi waktu hanya sehari di tengah-tengah kesibukan beraktifitas kesehari-harian. Nama itu kian sering kudengar berulang-ulang kali sebelum aku bisa menapakkan sepasang kakiku dipucuknya memegang tiang bambu bendera merah putih yang sesekali berkibar dihembus angin gunung, sambil di foto, narsis, cheerss.. Ceklik.. Kusematkan senyum termanisku.. ^^

Mulai dari teman SMA yang mengajar di Sukamakmur (daerah sekitar Gunung Batu, Jonggol) yang sempat menawarkan untuk main-main ke sana, dan seorang teman yang tinggal di Leuwijati (jalur jalan menuju Gunung Batu melalui Desa Dayeuh), sampai teman-teman ngetrip dari Jakarta yang mengajakku ikut event di akhir Maret 2015.
Karena merasa dapat kujangkau sewaktu-waktu dengan biaya lebih hemat ketimbang ikut event orang dari ibukota. Maka kuputuskan ini kali untuk tidak ikut event itu bersama teman-teman dari Jakarta. Maklum, bawaan filosofi ekonomi, hemat. ^^
Ya, kenapa aku bilang bisa lebih hemat dan sewaktu-waktu? Ini jawabannya. Pertama, karena domisiliku di Bantar Gebang (pinggiran Bekasi) dekat ke Cileungsi (pinggiran Bogor) sebelum ke Jonggol. Kedua, Jonggol adalah salah satu tempat alternatifku keluyuran dengan bersepeda motor. Ketiga, aku punya beberapa teman yang berdomisili di sekitar Jonggol. Jadi kemungkinan untuk menapaki tanah Jonggol bisa tidak terduga. Seperti Ahad, 15 Maret 2015, yang akhirnya tak terduga membawaku berjodoh juga ke Gunung Batu, Jonggol.
Begini ceritanya. Sudah ku katakan sebelumnya bahwa aku memiliki teman di Leuwijati (daerah yang jalannya pasti akan dilewati bila ingin ke Gunung Batu melalui Desa Dayeuh, Jonggol). Sebut saja dia Mario, karena namanya memang Mario. Pemuda ganteng (kata emaknya) ini adalah seorang Juventini. Tidak ada hubungannya sih memang, hanya ingin mempromosikan teman saja. Karena dia masih single dan emaknya juga sudah tidak sabar ingin menimang cucu darinya. Bila ada kawan-kawan akhwat yang berminat, bisa hubungi aku di komen.. Nanti ta sampaikan.. Ck.. Siapa tahu kalian berjodoh.. Weka weka weka weka weka..  ^^

           
Sudah, kita kembali ke jalan cerita. Jadi begini, Mario ini mengadakan pesta kecil di rumahnya. Little party bahasa kerennya, barbeqyu sob.. Hee.. Angap saja syukuran tanggal kelahirannya sepekan lalu, baru bisa terselenggara sekarang (Sabtu malam, 14 Maret 2015) teman-temannya bisa berkumpul. Rencananya mau bakar bebek panggang.
Sabtu sore yang cerah selepas Ashar aku berangkat dengan kuda besi andalanku, tanpa klakson. Maklum belum di service, klaksonnya mati.. Tapi tetap waspada dan lengkap berkendara.. Rencananya, aku mengajak beberapa teman untuk ke tempat Mario di Leuwijati. Sebut saja mereka Rena dan Dian, karena memang itu nama mereka.        
Titik temu aku dengan mereka adalah di rumah Dian (perum Kenari, Cileungsi). Ku parkir kuda besiku di muka rumah Dian, dekat pohon Bougenville. Kuambil hape, kuhubungi dia, ga keluar-keluar.. Bakalan lumutan inimah.. Adzan Magrib berkumandang, Dian tak kunjung membukakan pintu.. Ketiduran apa ya Dian.. Atau kedatanganku yang tak diharapkan, tamu tak diundang. Nasib-nasib.. Mana belum makan lagi, sengaja nanti mau makan bebek panggang aja di rumah Mario.. Hee.. ^^
Adzan Magrib belum khatam berkumandang, Rena datang dengan kuda besinya. Bagai pangeran dari Cikeas yang datang dengan kuda kebanggaannya. Rena adalah pemuda idaman wanita (uhuy).. Sori promosi temen lagi dikit, soalnya Rena juga masih single.. Hii.. Bila ada kawan-kawan akhwat yang berminat, bisa hubungi aku di komen.. Nanti ta sampaikan juga.. Hee.. Siapa tahu kalian berjodoh.. ^^
Sejurus kemudian, Dian membukakan pintu.. Dian itu orangnya friendly, dia juga masih single loo sob.. hayo.. Siapa yang mau kenal Dian hayo.. ck..
Bersua dan bertegur sapa tak lama dengan Dian, akhirnya aku dan Rena beranjak ke masjid terdekat dengan berjalan kaki. Di masjid, Magrib berjamaah pertama sudah kelar. Akhirnya aku dan Rena shalat berjamaah setelahnya berwudhu. Rena jadi imam, aku jadi makmum, berdiri hampir sebaris bersama melapor kepada Ilahi.
Ba'da Magrib, kami kembali ke rumah Dian. Kemudian tak lama beranjak menuju Leuwijati. Dian dibonceng Rena, dan aku sendiri.
Karena banyaknya volume kendaraan (maklum malam minggu), baru dari Kenari Cileungsi sampai Taman Buah Mekarsari saja kami sudah berpisah jalan. Tidak tahu siapa di depan siapa? Aku melipir ke sisi jalan. Akhirnya ku sms ke Dian, untuk ketemu di SPBU simpang Jonggol. Karena di situlah persimpangan kita akan belok ke kanan menuju Dayeuh lalu ke Leuwijati.
Sms terkirim. Aku lanjut melajukan kuda besiku. Gandoang, Tunggilis, Cibucil, perum Citra, terlewati sudah. Akhirnya sekitar 30 menit dari Cileungsi aku ambil kanan masuk ke SPBU Jonggol, sekalian mengantri isi bensin. Di situlah Dian menelponku agar aku melihat ke arah jam 9. Di situlah dua teman SMA ku itu bersemayam.
Singkat cerita, stok bensin ku isi penuh. Kami lanjutkan perjalanan, kami bertukar motor. Mereka pun bertukar posisi, so sweet. Yang tadinya Dian dibonceng Rena, kini Rena dibonceng Dian. Dan aku tetap sendiri kini memandu jalan mereka.
Langit yang cerah sore tadi di Cileungsi, ternyata tak begitu selepas masuk Jonggol. Dari SPBU Jonggol kembali kami belok kanan dekat Pasar Cariu. Hujan mengiringi perjalananku yang melaju sendiri kedinginan, berbanding terbalik dengan kisah Dian dan Rena yang semotor berdua. Suit-suit.. Ingetkan kawan, ini malam minggu lho.. Uhuy.. Gosip dikit ahh..
Setelah 15 menit dari Jonggol memasuki Dayeuh, kami berteduh, menepi di sebuah kios/ warung. Parkir motor dan memesan kopi dan jahe anget. Berkenalan dengan dua pemuda yang juga menuju Gunung Batu dengan membawa tas gunungnya yang kemungkinan berisikan tenda dan persediaan hidupnya, serta alat-alat survival lainnya.
Kami mengobrol singkat bertukar cerita. 10 menit kemudian, hujan mereda mereka lebih dulu melanjutkan perjalanannya. Sementara kami menghabiskan minuman kami dulu, kopi hangat yang berkarib dengan rintik hujan. Pikirku, indah sekali hidup ini. Alhamdulillah. Ternyata, Allah benar-benar Maha Baik. Belum surut kopi di dasar gelas, aku dibuat terpesona dengan kehadiran seorang perempuan berjilbab yang berbelanja di warung itu. Walau perut laper karena kosong belum makan, namun karena melihat kehadiran perempuan kaki gunung yang memang putih-putih membuat stamina kembali terisi penuh, overload. Hee..
Dian dan Rena paham benar dengan kejadian itu. Hii.. Secara aku juga kan masih single.. Uhuy.. Pake Mario, Rena, dan Dian lahh dibawa-bawa. Bilang aja mau promosiin diri sendiri.. Ehem.. Ck.. ^^
Mereka yang sempat datang memang tak selalu singgah dalam waktu yang lama. Begitu pun wanita itu, hanya sebatas bisa memandanginya saja. Keadaan ketika itu tak bisa berkata banyak. Kami pun beranjak setelah membayar jajanan kami. Meninggalkan sekelumit kisah yang belum dimulai di warung Dayeuh.
Tak sampai 2 menit kami sudah melewati pasar Dayeuh, 5 menit kemudian sampailah kami di kediaman Mario. Hujan benar-benar mereda sesampainya kami di kediaman Mario. Teman-teman yang lain bahkan selisipan di jalan sudah pulang. Kecuali satu lagi teman single yang masih betah di rumah Mario. Sebut saja Sugeng, karena memang itu namanya.
Ritual bertamu sudah, tegur sapa dengan orang tua Mario sudah. Mm.. Perasaan ada yang belum.. Hee..
Ternyata rezeki itu masih ada, menu hidangan utama masih ada. Upss.. Kami langsung dipersilahkan makan, ngumpul lesehan di ruang keluarga depan televisi. Kata Mario, "Tadinya mau dipanggang di luar, tapi berhubung tadi hujan. Jadi bebeknya digoreng saja."
Iya gapapa kok io (panggilan untuk Mario), ck.. Dipanggang atau digoreng sekarang sama saja.. Alhamdulillah..  
Singkat cerita, acara makan-makan sudah. Tapi Dian masih saja ngemil nugget dengan sambel buatan nyokap Mario. "Enak sambelnya ibu." Katanya. Modus baru ini, muji sambel buatan emaknya. Ck.. 
Makan sudah, sholat Isya sudah. Sambil bincang-bincang sambil nonton tivi juga. Malam makin kelam. Akhirnya kami sepakat untuk bermalam di sini, tidak pulang. Karena jalan malam di sini lumayan mencekam, sepanjang jalan belum ada lampu penerang jalan. Masing-masing dari kami mengabarkan orang rumah. Termasuk Dian.
Lantas kami satu per satu lelap dalam tidur dan masing-masing di selimuti oleh mimpi-mimpi indah. Zzz..

Ahad, 15 Maret 2015..
Pagi masih lembab karena hujan semalam, udara pagi masih berat. Maklum, lokasi kami kini tengah berada di kaki gunung perbukitan Jonggol. Kemudian seiring mentari bersinar meninggi, pagi nampak cerah. Bincang-bincang mengawali niat untuk sekalian keluyuran mumpung berada di sekitar sini. Ada beberapa alternatif, namun akhirnya kami sepakat untuk mengeksplor Gunung Batu. Inilah awal keluyuranku ke Gunung Batu yang tak terduga sebelumnya.
Kuda besiku yang terparkir dekat kandang sepasang angsa putih monogami milik keluarga Mario, sudah siap mendampingi suka duka keluyuranku. Akhirnya para single's inipun bermotor-motoran ria mencari lokasi Gunung Batu.
Kami berboncengan. Dengan motorku, Mario memboncengku. Rena tetap semotor dengan Dian, dan Sugeng dengan kuda besarnya membonceng adik Mario. Sebut saja Singgih, karena memang itu namanya..


Jalan berkelok-kelok, menanjak menurun. Bahkan memasuki kawasan Sukamakmur, kami melewati longsor yang menghantam jalan beberapa waktu lalu. Di titik ini, jalan aspal di sini terputus.. Alhamdulillah akses jalan masih bisa kita lewati. Di titik lainnya terlihat bekas longsor masih nampak. Karena kontur tanahnya, ternyata daerah sini lawan longsor.
Sekitar 20 menit memasuki kawasan Sukamakmur ini, Gunung Batu sudah terlihat menjulang dari kejauhan. Kami yang kesemuanya belum pernah menapaki Gunung Batu, hanya mengandalkan penglihatan dan mendekati arah gunung tersebut sebagai penunjuk jalan. Memasuki Pasar Cipamingkis, kita belok kiri. Marka jalan yang menunjuk ke Gunung Batu belum kutemukan sampai sini. Mungkin karena jalur ini bukanlah jalur utama ke Gunung Batu dari Jonggol.
Jembatan Cipamingkis
Namun tatkala memasuki kawasan Desa Sukaharja, selepas melalui Jembatan Cipamingkis, dan kemudian menanjak, di depan sana nanti ada marka jalan terlihat menunjuk ke kiri mengarah ke Gunung Batu dan menuju Desa Tanjung Sari. Setidaknya arah kami benar pada tujuan. Akses jalan masih bagus. 

Simpang Sukaharja
Bila kita sudah sampai di sini, itu menandakan bahwa lokasi Gunung Batu tak jauh lagi. Dari marka jalan di simpang Sukaharja ini (sebut saja demikian), sekitar 10 menit lagi akan sampai ke lokasi Gunung Batu. Bahkan menurut aku, bahwa jalan ini adalah jalan penghubung antara Cipamingkis dengan Tanjung Sari.
Kemudian bila diperjalanan sudah menemukan jalan berbatu-batu kasar tak beraturan. Itu tandanya tidak sampai 3 menit lagi kita akan sampai dan melihat Gunung Batu yang menjulang dari pelatarannya.
Di pelataran Gunung Batu, di hadapannya ada hamparan ladang penduduk dan sebuah mushola mungil sebagai oase di tengah pegunungan. Lahan kosong seberang sebuah warung dekat ke Gunung Batu, diberdayakan menjadi lahan parkir.    

 Gunung Batu..
Pelataran Gunung Batu
Sebenarnya untuk disebut sebagai ukuran Gunung, bila dilihat dari ketinggiannya yang tersohor hanyalah 875 mdpl. Gunung ini lebih menyerupai ketinggian bukit karena ketinggiannya itu. Namun karena letaknya yang berada di pegunungan inilah, maka landscape yang disuguhkan pun memiliki daya tarik tersendiri.
Sementara di dekat motor, teman-temanku menunggu Dian yang kemungkinan sedang salin di kamar kecil mushola pemukiman (maklum karena sedang PMS), aku menuju warung kecil terdekat yang nampak seperti posko istirahat sebelum dan sesudah trekking ke Gunung Batu tersebut. Berbekal pengalaman trekking di Bukit Penyesalan, mulai dari situ setiap trekking aku kini membekali diri dengan air minum sebagai pengantisipasi dehidrasi. Ku beli air minum mineral berukuran botol sedang sejumlah aku dan kawan-kawanku. Selain itu pun kubeli snack wafer untuk perjalanan di jalur Gunung Batu, maklum belum sarapan pagi.
Belanjaan sudah kubeli, ku kembali merapat kepada teman-temanku. Dian pun kembali dari salinnya. Ku berikan satu botol air mineral berukuran sedang tersebut masing-masing kepada teman-temanku. Kami parkirkan motor di lahan yang diberdayakan menjadi lahan parkir dengan sejumlah retribusi parkirnya. Biaya retribusi parkir per motor Rp 10.000,00 (Ahad, 15 Maret 2015).
Langkah masuk pertama berawal dari pelataran kaki Gunung Batu yang telah diberdayakan menjadi lahan parkir tersebut. Kami tembus lahan parkir menuju jalur pembuka trekking. Jalan bertanah campuran gambut dan unsur kapur menyapa selamat datang.    
Belum jauh menapak selepas parkiran masuk, dari arah kami datang ada warung lagi bersemayam di sebelah kanan jalur. Kami ikuti saja jalurnya memasuki di tengah-tengah tiang-tiang pepohonan. Kami terhenti sejenak, mencelotehkan sebuah pohon Duren yang berbuah di kanan jalur.
Jalan lebar bebatuan menurun didampingi ilalang-ilalang dan belukar-belukar. Kemudian jalan kembali mendatar dan tak beraturan. Telaga kecil ada di sisi kanan jalur, namun telaga kecil ini tak terurus. Airnya seakan hanya menggenang terdiam tanpa bisa di konsumsi manusia.   
Kuakui, di Gunung Batu minim sumber mata air. Bagi kalian yang ingin bermalam di Gunung Batu, kalian harus memperhitungkan matang-matang persediaan air yang kalian punya.
Positifnya, masih ada warung-warung sebagai oase bagi pendatang. Selepas melewati telaga kecil, tanah-tanah datar pegunungan mulai terlihat. Begitu halnya dengan persimpangan yang kemudian menuju trekking menanjak yang sesungguhnya. Di persimpangan ini, sebuah warung bersemayam kembali menjadi oase.

Jalur Treking
Mulai dari persimpangan ini, trekking mulai menanjak dan mulai sering bergantian jalan dalam satu jalur yang dilewati oleh dua arah. Papasan pengunjung yang naik, dan pengunjung yang turun. Tanah-tanah gambut yang kemudian bisa berubah menjadi permukaan licin ketika di pijak. Membuat kita mesti memilih-milih jalan yang akan kita tapaki.
Bila hujan turun, mulai di trekking inilah kita dituntut mengerahkan tenaga lebih. Namun setelah jalur menanjak ini, ada sebuah warung lagi. Inilah warung terakhir di jalur ketinggian Gunung Batu. Bahkan warung ini berada di dekat tempat para pengunjung ngecamp membuka tenda sebelum trekking ke pucuk Gunung Batu.
Warung ini bersemayam di bawah sebuah pohon. Inilah warung terakhir di jalur trekking, warung ketiga yang kuhitung semenjak masuk dari parkiran tadi. Warung-warung di jalur Gunung Batu layaknya malah laksana pos-pos yang bersemayam menampung lelah pengunjung.
Sebuah warung di luar jalur Gunung Batu yang dekat parkiran (tempat aku membeli minum), laksana posko sebelum dan setelah pendakian. Warung pertama setelah mulai memasuki jalur, laksana posko 1. Warung kedua di persimpangan sebelum jalur benar-benar satu jalur menanjak, laksana posko 2. Kini, warung ketiga dekat para pengunjung berkemah, laksana posko 3.
Tak jauh menanjak dari warung terakhir inilah jejeran tenda-tenda terpaku di sepanjang jalur tanah menjadi pembuka jalan menuju jalur pucuk Gunung Batu. Keberadaan tenda yang berjejer-jejer di sepanjang jalan tersebut mengingatkanku akan tenda-tenda pendaki di Plawangan. Hanya volumenya yang jauh lebih mini, lebih sedikit dan lebih sempit jalurnya.
Tegur sapa kepada penghuni tenda menjadi hal yang biasa. Kami berjalan satu per satu layaknya berbaris diantara tenda-tenda, di antara mereka. Mereka sedang memasak, ada yang sedang lesehan berkelakar, menunggu makanan jadi dari koki dadakan dengan ransum seadanya. Kebebasan terlihat di raut-raut mereka.
Kami tinggalkan mereka dengan gaya hidupnya. Kami hanya numpang lewat. Kabut datang dan menghilang. Ini juga menjadi hal yang kubaca dengan kondisi alam di Gunung Batu. Semenjak pucuk sudah terlihat, kabut sering melintas.
Puncak Bayangan, seperti Dua Punuk Unta
Selepas lahan tempat banyak pendaki ngecamp barusan, kehati-hatian menjadi hal yang harus ditanamkan sepanjang jalan mendaki menuju pucuk gunung Batu. Extra hati-hati dan rasa toleransi sosial untuk saling pengertian jalan bergantian di treking ini. Utamakan keselamatan. Saran kami, bila hujan ketika trekking, sebaiknya berhenti sementara, kontur tanah yang rawan dan jalan menuju puncak menjadi titik-titik rawan  yang mesti harus extra hati-hati. Tetap perhatikan jalan yang akan anda tapaki, jalan satu per satu, atau paling tidak berdua dengan tetap berhati-hati.
Puncak bayangan terlihat, itulah gundukan tanah yang seperti dua punuk unta. Sebelum ke puncaknya Gunung Batu, kalian akan melewati dua punuk Unta ini. Di sini, diharapkan kalian berhati-hati dan bergantian antri dalam jalan naik maupun turun bila ramai. Dari dua punuk Unta ini, kalian dapat melihat sepasang bendera merah putih yang sesekali berkibar di topang bambu-bambu dan tali temali yang menyatu padu membuat kokoh berdiri.
Selamat datang dan selamat menikmati panorama alam dari ketinggian Gunung Batu. "Keberhasilan dari sebuah pendakian adalah bukan ketika kita sampai di puncaknya, melainkan ketika kalian kembali turun dengan selamat." Semoga bermanfaat.. 


 Lampiran-lampiran Foto:






























1 komentar: