Ada kisah menarik tentang nama Ki Hadjar Dewantara. Sebenarnya waktu
kecil dia diberi nama R.M. Suwardi yang lahir dari pasangan K.P.A.
Suryaningrat dan. R.A. Sandiah. Pangeran Suryaningrat yang masih
keturunan Sultan Hamengku Buwono II ini, memang mendambakan anak
laki-laki. Tapi dia agak kecewa saat melihat kondisi fisik bayi Suwardi.
Beratnya kurang dari 3 kg, perutnya buncit dan suara tangisnya terlalu
lembut untuk bayi lelaki.
Melihat ini, Pangeran yang humoris ini lantas memberi paraban
(nama olok-olok), Jemblung (buncit). Nama ini ditambahi oleh sahabat
Pangeran Suryaningrat, Kyai Soleman, pengasuh pondok pesantren di
Prambanan, dengan nama Trunogati. Tapi berlainan dengan ayahnya, Kyai
Soleman lebih dalam melihat aura bayi ini. Menurutnya, Suwardi yang
lembut justru nanti akan didengar orang di seluruh negeri. Sementara
perut buncitnya memberi firasat kelak ia akan menyerap dan mencerna ilmu
yang banyak. Bahkan setelah dewasa ia akan menjadi orang penting (Truno = pemuda; wigati = penting). Tapi oleh kalangan terdekatnya Suwardi kecil lebih populer dengan Jemblung Joyo Trunogati alias Denmas Jemblung.
Dan terbukti, Suwardi tumbuh menjadi pemuda dengan watak dan kepribadian
yang dikenal orang di kemudian hari. Sahabat setianya, E.F. Eugene
Dowes Dekker melukiskan pribadinya sebagai berikut, “… di dalam tubuhnya
yang lemah itu bersemayamlah daya kemauan keras yang selalu
dimenangkannya setiap kali ia memperjuangkan sesuatu….”
Yang unik justru bagaimana dia mengganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Sebelum Taman Siswa berdiri, Suwardi membentuk semacam
kelompok diskusi yang beranggotakan tokoh-tokoh politik, budayawan, dan
filsuf. Forum diskusi “Selasa Kliwonan” (karena diadakan setiap
hari/malam Selasa Kliwon) ini dipimpin Ki Ageng Suryomentaram, adik Sri
Sultan Hamengku Buwono VII.
Rupanya kemampuan Suwardi dalam hal ilmu keguruan dan pendidikan amat
menonjol. Suatu hari R.M. Sutatmo Suryakusumo (anggota Volksraad/Boedi
Oetomo) yang memimpin diskusi dengan spontan mengubah kebiasaannya
memanggil Suwardi dengan sebutan Ki Ajar.
Cara ini kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya. Ketika itu Suwardi
menerima julukan tersebut sebagai kelakar semata. Tapi enam tahun
kemudian, 23 Februari 1928, Suwardi secara resmi berganti nama Ki Hajar
Dewantara. Bernard H.M. Viekke, penulis buku Geschiedenis van de Indischen Archiepel (1947),
memberi interpretasi nama itu: “seorang guru yang berhasil menanamkan
paham sinkretisme kepercayaan-kepercayaan di Jawa zaman dulu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar