Welcome To Join Us

Selamat datang di blog kami, Pelangi Indonesia.
Blog kami bukan hanya memberikan informasi tentang keindahan panorama alam saja, namun juga dilengkapi serba-serbi informasi layaknya warna pelangi.

Kamis, 14 Juni 2012

Mapala pertama di Indonesia


     Mapala UI adalah salah satu mapala yang dikenal sebagai pionir berdirinya mapala di Indonesia. Iya, pionir itu adalah Mapala UI (Universitas Indonesia). Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan.
     Kegiatan mapala umumnya berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan hidup. Jenis aktivitas meliputi pendakian gunung (mountaineering), pemanjatan (climbing), penelusuran gua (caving), pengarungan arus liar atau arung jeram(rafting),penyelaman (diving) penghijauan dan bahkan penerbitan media-media yang bertema lingkungan. Akhir-akhir ini di mana degradasi lingkungan dirasa semakin parah, maka peran mapala sangat penting untuk membantu melestarikan lingkungan.
     Untuk mempererat sekaligus menyatukan visi dan misi mapala secara umum, maka tiap tahun rutin diadakan TWKM. TWKM merupakan kepanjangan dari Temu Wicara dan Kenal Medan.
Sesama pencinta alam ada Kode Etik Pencinta Alam Se-Indonesia yang disahkan bersama dalam Gladian iv di Ujung Pandang, tanggal 29 Januari 1974.

Sejarah Mapala UI

     Di Fakultas sastra UI (Kini Fakultas Ilmu Budaya), sebelum berdirinya Mapala UI, sudah terdapat kelompok – kelompok mahasiswa yang gemar bertualang di alam bebas. Mereka yang terdiri dari mahasiswa Arkeologi dan Antropologi yang banyak turun ke lapangan serta mereka yang pernah tergabung dalam organisasi kepanduan. Sayangnya kelompok – kelompok ini tidak terkordinir dengan baik dalam statu wadah dan mereka juga tidak pernah membuka diri dengan peminat – peminat baru di luar jurusannya.
     Adalah seorang Soe Hok Gie yang mencetuskan ide pembentukan suatu organisasi yang dapat menjadi wadah untuk mengkoordinir kelompok – kelompok tadi, berikut kegiatan mereka di alam bebas.
Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Sdr. Soe sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua.
     Adapun organisasi yang diidamkan Sdr. Soe itu merupakan organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas, dan ini dikhususkan bagi mahasiswa FSUI saja. Kegiatan ini terutama pada masa liburan. Bedanya dengan kelompok yang ada, gagasan ini terutama ditekankan pada perlunya memberikan kesempatan pada mereka yang sebelumnya pernah keluyuran , untuk melihat dari dekat tanah airnya.
     Tujuan dari organisasi ini mencakup tiga hal yaitu Pertama, untuk memupuk patriotisme yang sehat di kalangan anggotanya. Ini dapat dicapai dengan hidup di alam dan rakyat kebanyakan. Memang tekad yang mendasari pendirian organisasi ini adalah suatu keyakinan bahwa patriotisme yang sehat tidak mungkin timbul dari slogan – slogan, indoktrinasi - indoktrinasi, ataupun poster – poster. Patriotisme yang sehat hanyalah mungkin dibina atas partisipasi yang aktif dari seseorang melalui hidup di tengah – tengah alam dan rakyat Indonesia pada umumnya. Adalah hal yang mustahil, bahwa cinta tanah air dapat timbul melalui jendela – jendela bis atau mobil mewah. Kedua, mendidik para anggota, baik mental maupun fisik. Sebab seorang kader yang baik adalah kader yang sehat jasmani dan rohaninya. Disini juga ditekankan aspek edukasi tanah air secara aktif dari dekat. Ketiga, untuk mencapai semangat gotong royong dan kesadaran sosial. Sampai saat ini, tujuan – tujuan tadi belum tercapai secara maksimal, tetapi titik terang sudah terlihat.
Dalam pertemuan tanggal 8 Nopember 1964 itu, gagasan Sdr. Soe mendapat sambutan baik di kalangan mahasiswa FSUI yang senang ”keluyuran” di alam bebas”. Sdr. Maulana, Koy Gandasuteja, Amin Sumardji, Ratnaesih, dan Edhi Wuryantoro, yang waktu itu menjadi pengurus dari Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi, bersedia membantu. Bahkan bila perlu melepas jabatan tadi.
     Setelah berbincang – bincang selama kurang lebih satu jam, semua yang hadir antara lain : Soe Hok Gie, Maulana, Koy Gandasuteja, Ratnaesih (kemudian menjadi Ny. Maulana), Edhi Wuryantoro, Asminur Sofyan Udin, D armatin Suryadi, Judi Hidayat Sutarnadi, Wahjono, Endang Puspita, Rahayu,Sutiarti (kemudian menjadi Ny. Judi Hidayat), setuju untuk membicarakan gagasan tadi pada keesokan harinya di FSUI.
     Pertemuan kedua diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, di depan ruang perpustakaan. Hadir pada saat itu semua yang sudah disebut ditambah Sdr. Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu Sdr. Udin mengusulkan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam.”Biar keren deh, namanya seperti OKB (Orang Kaya Baru, tetapi isinya gembel melulu),”ujarnya. Setelah pendapat ditampung, akhirnya diputuskan nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA. Kemudian pembicaraan dilanjutkan dengan membahas kapan dan dimana IMPALA akan diresmikan.
     Suatu hal yang sangat kebetulan sekali pada waktu itu Sdr. Willy Han dari Senat Mahasiswa FSUI merencanakan piknik ke Ciloto dalam rangka pembinaan mahasiswa baru pada tanggal 15 Nopember 1964. Rencana itu kurang mendapat sambutan dari mahasiswa yang ketularan gagasan pendirian IMPALA yang beberapa diantaranya anggota senat. Mereka ini mengusulkan rencana piknik ke Ciloto dialihkan ke Cibeureum.Rencana ini diterima.
     Sebelum berangkat, pada tanggal 13 Nopember 1964, Sdr. Koy, Maulana, Edhi, Amin, dan Ratnaesih bertemu di kafetaria FSUI untuk membicarakan peresmian Impala di Cibeureum. Semua setuju bahwa peresmian IMPALA akan dilangsungkan dibawah siraman air terjun Cibeureum. Kemudian untuk membuat suatu kejutan mereka sepakat untuk mengirimkan tim pembuka jalan dan menyiapkan tempat peresmian IMPALA.
     Keesokan harinya, jam 13.00 rombongan pendahulu berangkat secara diam – diam ditambah 2 orang ”Guest Star” yaitu Sdr. Halina Hambali dan Sdr. Siti Aminah. Karena sampai di Cibodas hampir jam 20.00, rombongan terpaksa menginap di Cibodas (sekarang ini lapangan parkir). Pada masa itu, hubungan Jakarta – Puncak masih sukar, karena bus masih jarang. Dari pertigaan Cibodas, rombongan terpaksa jalan kaki. Sepanjang perjalanan Cimacan – Cibodas sepi sekali. Maklum, pada waktu itu sisa – sisa gerombolan Kartosuwiryo masih banyak berkeliaran di Gn. Gede – pangrango. Meskipun di kiri kanan jalan ada beberapa rumah penduduk, semuanya sudah tertutup, hanya ada beberapa lampu minyak yang menempel.
     Pagi – pagi sekali rombongan ini berangkat menuju Cibeureum. Namun hingga tengah hari, rombongan besar yang dinanti – nanti tidak kunjung datang. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke Jakarta dan menunda peresmian pendirian IMPALA. Ternyata bus yang membawa rombongan mengalami mogok di Cibulan dan tidak bisa meneruskan perjalanan ke Cibodas.
Meskipun usaha pertama gagal, para perintis ini tidak menyerah. Sementara mematangkan ide, mereka bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito (Kini Prof. DR. Moendardjito) yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Dan pada waktu itu segala yang borjuis, habis diganyang. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Dewi Prajnaparamita juga menjadi lambang dari senat FSUI saat itu. Lambang yang digunakan adalah gambar dua telapak kaki dengan tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA dibawahnya. Telapak kaki kiri terletak lebih kedepan dari telapak kaki kanan. Hal ini melambangkan kehadiran di alam bebas dalam bentuk penjelajahan dan sebagainya. Selain itu lambang telapak kaki ini juga diilhami penggunaan tapak kaki oleh raaja Purnawarman dalam prasasti – prasastinya yang dapat diartikan lambang kebesaran. Dibawah tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA ditambah tulisan FSUI yang menunjukkan tempat bernaungnya organisasi ini.
     Setelah segala persiapan selesai, pada tanggal 5 Desember 1964 berangkatlah 3 orang yaitu Sdr. Soe, Maulanan dan Ratnaesih ke daerah Ciampe untuk survei Persami yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 dan 12 Desember 1964.
     Pada tanggal 11 Desember pukul 06.30 semua peserta yang mencapai lebih dari 30 orang berkumpul di lapangan Banteng dan berangkat. Pada pukul 11.00, mulailah rombongan mendaki lereng – lereng terjal dari bukit kapur Ciampea. Hari yang panas waktu itu membuat beberapa peserta ”anak mami” kelelahan dan merepotkan panitia. Jam 14.30 peserta tiba di bukit. Tenda segera didirikan. Pada malam hari angin bertiup sangat kencang dan hujan lebat. Tenda banyak yang roboh, sehingga peserta banyak yang berteduh di gubuk yang kebetulan ada disitu. Hampir saja peresmian Mapala dibatalkan karena sampai dengan jam 20.00 hujan masih lebat. Namun akhirnya pada pukul 21.00 hujan berhenti dan bulan bersinar terang. Semua peserta yang basah kuyup dikumpulkan untuk mengadakan rapat pembentukan MAPALA yang dipimpin Sdr. Soe. Ketika rapat sedang berjalan, tiba – tiba datang tamu dari Jakarta yaitu Bpk Soemadio, Bpk soemadjito dan Mang Jugo Sarijun yang sengaja datang untuk menyaksikan upacara peresmian MAPALA. Sdr Maulana terpilih sebagai ketua pertama dan formatur tunggal.
Sampai dengan tahun pertama, Mapala telah memiliki 12 orang anggota yaitu AS Udin, Rahaju, Surtiarti, Ratnaesih, Endang Puspita, Mayangsari, soe Hok gie, Judi Hidajat, Edhi Wuryantoro, Koy Gandasutedja, Wahjono, dan abdurrahman.

Perubahan menjadi Mapala UI

     Sampai tahun 1970-an, di beberapa fakultas di UI terdapat beberapa organisasi pencinta alam antara lain : Ikatan Mahasiswa Pencinta alam (IMPALA) di Psikologi, Climbing And Tracking Club (CATAC) di Ekonomi, Yellow Xappa Student Family (Yexastufa) di Teknik, Climbing And Tacking (CAT) di Kedokteran dll. Setelah berjalan beberapa waktu di akultasnya masing – masing, organisasi – organisasi ini merasakan dan menyadari bahwa Mapala UI yang telah terbentuk dan disetujui oleh Rektor UI (Prof. DR. Sumantri Brojonegoro (Alm.)) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa adalah milik seluruh mahasiswa UI. Oleh karena itu organisasi – organisasi tersebut setuju untuk bersatu dalam satu wadah yaitu MAPALA UI. Selanjutnya seiring perjalanan waktu, proses perekrutan anggota mapala dilakukan secara sisitematis dan profesional berdasarkan pengalaman organisasi dan riset akademis. Tertib organisasi diatur dalam Anggaran Dasar Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia dan proses perekrutan serta pelatihan anggota baru (harus mahasiswa Universitas Indonesia, melalui sebuah panitia yang disebut Badan Khusus Pelantikan disingkat BKP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar