Bujangga Manik, begitu ia dikenal. Perjalanan hidupnya di Kerajaan Sunda yakni sebelum Prabu Siliwangi berkuasa. Sejarah
Sunda mencatatnya sebagai tokoh besar di Kerajaan Sunda sebelum Prabu
Siliwangi menjadi Raja Kerajaan Sunda. Hal yang memberikan manfaat bagi
sejarah Sunda adalah peninggalan berupa naskah perjalanannya.
Naskah perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuna berbahasa Sunda yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Naskah perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuna berbahasa Sunda yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik,
seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang lebih suka menjalani hidup
sebagai seorang resi, walaupun sebenarnya ia seorang kesatria dari
keraton Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, yang bertempat di
wilayah yang sekarang menjadi Kota Bogor). Sebagai seorang resi, dia
melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada
perjalanan kedua Bujangga Manik malah sempat singgah di Bali untuk
beberapa lama. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung
Patuha sampai akhir hayatnya. Dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa
naskah Bujangga Manik berasal dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar
Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal
dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka, dan Demak membawa pada
perkiraan bahwa naskah ini ditulis akhir tahun 1400-an atau awal tahun
1500-an. Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan geografi dan
topografi Pulau Jawa
pada saat naskah dibuat. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai
disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut
masih digunakan atau dikenali sampai sekarang.
Naskah ini ditulis dengan genre santri lelana
("orang pintar yang berkelana"), suatu genre yang cukup umum dipakai
pada naskah-naskah dari masa berikutnya, seperti misalnya Serat
Centhini.
Diceritakan bahwa Bujangga Manik akan meninggalkan ibunya untuk pergi
ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya.
Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala (saceundung kaen).
Perjalanan pertamanya dilukiskannya secara terperinci. Waktu mendaki daerah Puncak
Bujangga Manik menghabiskan waktu seperti seorang pelancong zaman
modern: dia duduk, mengipasi badannya dan menikmati pemandangan,
khususnya Gunung Gede yang dia sebut sebagai titik tertinggi dari kawasan Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda).
Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi Ci Pamali (sekarang disebut Kali Brebes)
untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke berbagai
desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai
di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya dan memutuskan untuk
pulang. Namun pada kesempatan ini, dia lebih suka untuk lewat laut dan
menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai
pertengahan abad ke-15 sampai ditaklukkan oleh Portugis menguasai
perdagangan pada perairan ini.
Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta
bedil ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan
dengan keras oleh awak kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang
digunakan untuk membuat kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan
rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal dari India juga
disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal
berasal dari berbagai tempat atau bangsa.
Perjalanan dari Pamalang ke Kalapa,
pelabuhan Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. yang memberi
kesan bahwa kapal yang ditumpangi tersebut berhenti di berbagai tempat
di antara Pamalang dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik
membuat nama alias lainnya yaitu Ameng Layaran. Dari Kalapa, Bujangga
Manik melewati Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan, di bagian selatan kota Bogor
sekarang bujangga Manik memasuki Pakancilan, terus masuk ke paviliun
yang dihias cantik dan duduk di sana. Dia melihat ibunya sedang menenun.
Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera
meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melewati beberapa
lapis tirai, dan naik ke tempat tidurnya.
Ibu Bujangga Manik menyiapkan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan untuk mengunyah sirih,
menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia kemudian turun
dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut
anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang
ditawarkan ibunya.
Pada bagian berikutnya, diceritakan mengenai putri Ajung Larang
Sakean Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang
meninggalkan istananya, menyeberangi Ci (Sungai) Pakancilan dan datang
ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seorang asing
yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong
Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik.
Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung
Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Putri, yang mengenakan gaun
serta di sampingnya ada kotak impor dari Cina, melihat Jompong Larang
yang terburu-buru, menaiki tangga dan kemudian duduk di sampingnya.
Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan
bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung
Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran lebih tampan daripada
Banyak Catra atau Silih Wangi, atau sepupu sang putri, atau siapapun
itu. Lebih dari itu, pria itu pintar membuat sajak dalam daun lontar serta bisa berbahasa Jawa.
Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia kemudian
menghentikan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia sibuk
menyiapkan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai
perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan
sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang
sangat mahal: "seluruh wewangian tersebut berasal dari luar negeri",
juga baju dan sebuah keris yang indah.
Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya untuk menerima hadiah dari putri
Ajung Larang kemudian menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa
serta pujian-pujian lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri
berkeinginan untuk meyerahkan dirinya kepada Bujangga Manik serta
mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan putri Ajung Larang,
"Saya akan menyerahkan diri saya. Saya akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau,
meminta diterima sebagai kekasih. Ameng Layaran terkejut mendengar
ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan menyebutnya sebagai kata-kata
terlarang (carèk larangan) dan bertekad untuk menolak hadiah
tersebut dengan kata-kata yang panjang juga. Dia meminta ibunya bersama
Jompong Larang untuk mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta
menghibur putri. Dia lebih suka untuk hidup sendiri dan menjaga ajaran
yang dia terima selama perjalanannya ke Tanah Jawa, di pesantren di
lereng Gunung Merbabu
(yang dia sebut dalam naskah ini sebagai Gunung Damalung dan Pamrihan).
Untuk itulah Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya.
Bujangga Manik mengambil tasnya yang berisi buku besar (apus ageung) dan siksaguru,
juga tongkat rotan serta pecut. Dia kemudian mengatakan bahwa dia akan
pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa untuk mencari tempat
nanti dia dikuburkan, untuk mencari "laut untuk hanyut, suatu tempat
untuk kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya". Dengan
kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai
pengembaraan panjangnya.
Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama tempat yang sebagian masih digunakan sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar